Kamis, 26 November 2020

Menggapai mimpi

Menggapai mimpi menjadi santri
(Memoar Adibul Umam)
Oleh: Hikmatul Laili
“Buat apa mondok? Emangnya kamu mau jadi mudin?!” tukas Pak Djono saat putra keduanya memberanikan diri mengutarakan keinginannya.
Adib hanya menunduk dan menelan lagi keinginannya sedari duduk di sekolah dasar.
Bukan ...
Adib bukan seorang anak yang penakut. Lebih tepatnya ia sangat mengedepankan sikap andap asor (menghormati orang tua).
“Nilaimu itu bagus-bagus, Le. Bahkan danemmu juga unggul di sekolah. Eman-eman kalau tidak dilanjutkan ke sekolah yang bagus,” suara bariton pria bertubuh tambun ini membungkam seluruh keluarga yang ikut duduk di ruang tamu.
“Enggeh, Pak!” (Iya, Pak) jawab Adib kalem.
“Besok Bapak daftarkan kamu di SMA Unggulan.”
“Enggeh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Adib.
Pak Djono Hadi poerwanto, kepala keluarga yang berpendidikan tinggi. Seorang guru PNS yang tegas dan disegani murid-muridnya. Termasuk keluarga dan tetangganya. Ucapannya bagaikan titah. Tak boleh ada yang menentang. Tubuh yang besar menyokong sosoknya yang garang. Namun ilmu agama tak begitu dominan dalam latar belakang keluarganya. Isterinyalah yang mati-matian mengenalkan mengaji dan zakat secara perlahan.
Pak Djono bukan keturunan dari keluarga miskin. Sawah dan tanah keluarganya berhektar-hektar. Bahkan orang tuanya punya beberapa anak untuk diasuh.
Isteri Pak Djono bernama Ibu Ummaha. Sosok penyabar ini lahir dari keluarga yang sangat memahai agama. Dari awal berumah tangga ibu Ummaha ditentang keras oleh suami dan iparnya saat menyisihkan sebagian hasil panen untuk berzakat.
“Buat apa dikasihkan orang gabah sebanyak itu?” Melihat berkarung-karung beras hasil panen akan dibagikan geramlah saudara-saudaranya. “Ndak tau apa kita di sawah itu soro?! Kepanasan kehujanan. Enak aja main dikasih ke orang,” gerutu saudaranya.
Ditentang pun percuma. Malah akan mendatangkan perpecahan dalam keluarga. Akhirnya sedikit demi sedikit hasil panen diantar secara diam-diam.
Tak cukup dengan itu. Ibu yang melahirkan tujuh anak ini dengan sabar mengajarkan hijaiyyah demi hijaiyyah pada suaminya yang berwatak keras. Tentu mengajarkan mengaji pada orang yang dihormati tak semudah seperti mengajar anak-anak di Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ).
Sesekali diadakan pengajian di rumah agar suaminya ikut juga mendengarkan. Namun sebelum itu Bu Ummaha sudah berdiskusi pada Penceramah agar membahas hal-hal penting yang perlu diluruskan pada diri suaminya.
Alhamdulillah, hari demi hari. Waktu mengikis gelap. Perlahan tercerahkan sudah suami Bu Ummaha. Beliau tetap menjadi pribadi yang tegas dan keras. Namun dalam hal yang lebih baik. Tetap dalam batas akidah keislaman.
Bahkan setelah faham, kini zakat hasil panen tak lagi diantar sedikit demi sedikit. Setelah dijumlah hasil zakat akan segera diangkut oleh becak berkarung-karung untuk segera di tunaikan. Harta lebih berkah. kehidupan semakin bermakna. Semangat sedekahnya semakin menggelora.
~~~~~~~~
INDAHNYA MASA KECIL
LUHUR PATRIANTO. Nama yang diberikan bapaknya ketika lahir. Karena sang bapak ingin anaknya kelak berbudi luhur dan berjiwa patriot. Namun dia lebih senang dengan nama Muhammad Adibul Umam, pemberian nenek dari ibu yang dipanggil Mbah Umi.
Adib adalah panggilan akrab saudara dan kawan-kawannya. Dia lahir di Jombang tanggal 10 oktober tahun 1975. Ibunya seorang ibu rumah tangga dan bapaknya guru PNS yang mengajar di salah satu SMP Negeri.
Diawal daftar sekolah. Waktu itu di SDN Japanan 2 Mojowarno Jombang. Saat didaftar dengan nama Luhur Patrianto, pulang-pulang langsung dia ngambek.
“Sudah ah, ndak usah sekolah-sekolahan!” sungutnya masuk kolong meja.
Ibunya bingung menanyakan apa penyebabnya.
 Penyebabnya mungkin sepele bagi sebagian orang. Bukan karena bullying atau uang sekolah yang tak cukup. Tapi nama yang disebut di pendaftarannya bukanlah Muhammad Adibul Umam, dia mau sekolah hanya dengan nama Muhammad Adibul Umam. Titik.
Hari berikutnya sang ibu mengantarkannya mendaftar lagi di SDN Japanan 1 Mojowarno Jombang. Sesampainya di sana , ditemui langsung oleh kepala sekolah, yang tampaknya kenal baik dengan pak Djono, dengan sapaan santai pak astho (kepala sekolah), berkata
 "rene-rene, pak djono" (sini-sini, pak djono), sapaan anak kecil putra dari sang ayah.
 "Sopo jenengmu le? (Siapa namamu nak?)
Dengan mantap, adib berkata "Muhammad adibul umam".
Kali ini dengan nama Muhammad Adibul Umam. Seperti kehendak sang pemilik nama.
Itulah sebuah nama. Tak terlihat namun mewakili jati diri penyandangnya.
***
Adib adalah anak desa yang tinggal di antara sawah, sungai dan ladang. Saat masih duduk di SD dia masih tiga bersaudara. Kakaknya yang polos, teliti dengan barang miliknya, Saiful, dan adik perempuan tersayangnya yang manis Laukhil, atau biasa dipanggil Lukhi.
Masa kecil yang sangat indah. Mereka sering bermain disawah mencari ikan, mandi disungai yang kebetulan dekat dengan halaman belakang rumah, mencari burung pipit, mencari buah Kangkung Tirta dihutan kecil dekat rumah buat peluru. Itu mereka lakukan selepas pulang sekolah.
Adek kecilnya yg item kucel tapi sayangnya masya Allah, tak pernah lepas dari pengawasannya. Pancaran netranya bagai meneriakkan, Jangan sampai ada yg menyakiti adikku sedikit pun. Adiknya kemana-mana selalu mengekor. Tak pernah dilewatkannya keseruan bersama kakaknya. Pernah suatu siang Adib dan adiknya mandi di sungai yang berada tepat dibelakng rumah. Mungkin karena dipikir Bapak pasti pulang siang, makanya mereka berani main di sungai.
Sementara mereka asik bermain aliran sungai yang masih jernih, bapaknya berkacak pinggang di bibir sungai dengan tatapan singa yang ingin menerkam. Adib dan adiknya pun menepi perlahan dan naik dengan sejuta ketakutan. Digiringnya kedua anak itu ke sumur. Lalu guyuran gayung bertubi-tubi mendarat dengan taburan suara kemarahan sebagai bumbunya.
Adib juga seorang anak yang kuat keinginannya. Pernah saat itu dia dan Pak Djono naik motor ke Mojoagung. Di sana dia terpikat dengan sepeda kecil yang menunggu dengan setia kedatangan pemilik barunya. Awalnya Pak Djono tidak meluluskan permintaannya. Tapi karena usaha kerasnya, akhirnya sepeda itu berhasil dipinang dengan syarat Adib harus mampu mengedarainya sepanjang perjalanan pulang.
Jarak Mojoagung dengan rumah sekitar 8 km. melihat kegigihan putranya Pak Djono pun tak sampai hati melanjutkan syaratnya. Disuruhnya Adib turun dan naik motor bersamanya. Namun pantang bagi Adib kecil ini menyerah. Dia sudah menyaggupi syarat dari Bapaknya. Maka itu harus ditunaikan hingga tuntas.
Maka Pak Djono pun menyuruhnya menepi di warung untuk mengusir dahaga di siang yang terik. Dengan es yang manis dan segar mereka mengumpulkan tenaga lagi untuk sisa perjalanan yang masih panjang.
Harapan baru di masa remaja
Umat yang beradab. Itulah arti dari namanya. dimanapun dia berada selalu menyuguhkan akhlaq yang membuat orang disekitarnya sejuk memandang.
Saat lulus dari SMP, Pak Djono bersikeras agar Adib masuk SMA yang terbilang baru namun sudah terkenal unggul dan bergengsi di daerah Janti Jombang yang di kenal dengan nama SMADA. Keinginannya untuk mondok belumlah pupus. Namun keinginan Bapaknya mustahil ditentang. Ditengah kegalauannya muncul saran dari Bude Khoridah yang memberi harapan baru.
“Ndak papa, turuti aja … nanti sambil sekolah kan bisa mondok di galsari. Ilmu umum dapet … ilmu agama juga.”
Bude Khoridah mengupayakan agar Pak Djono meluluskan idenya. Dan hasilnya sangat menggembirakan. Saat sekolah SMA dia diizinkan nyantri di Tegalsari. Karena di sana pemiliknya masih ada hubungan keluarga dan bisa dimintai tolong untuk menjaga dan mendidik putranya dengan baik. Asal sekolah formalnya tidak kalah dengan kegiatan mondoknya tersebut.
Disaat para remaja sibuk dengan gaya hidup barunya yang penuh kesenangan duniawi. Adib muda ini dengan girangnya menyiapkan keperluannya yang akan diboyong ke pondok. Tak lupa lemari kecil dan kasur yang agak tebal karena orang tuanya khawatir penyakit sesak nafasnya akan kambuh di sana.
Kesehariannya jauh dari predikat sekolah bergengsi yang tiap hari didatanginya. Dia membaur asyik dengan teman-teman santrinya yang hidup apa adanya. Setiap hari mereka mencari daun ubi untuk dimasak. Tak lupa sambal yang jadi primadona rasa yang diperoleh gratis minta di warung sebelah yang akrab dipanggil Cak Mul.
Menurut cerita guru-gurunya. Tak sekali pun dilihatnya seorang Adib remaja mengangkat pandangannya ketika di depan guru. Dalam proses belajar mengajar didapatinya kepala Adib selalu tertunduk dalam takdzim menghormati gurunya dengan sangat.
Di pondok jaman dulu memang tak seperti jaman sekarang yang santrinya boleh bebas bertanya dan menanggapi apa yang disampaikan guru atau ustadznya. Bahkan hal itu sangat diapresiasi sebagai tolok ukur pemahaman tentang materi yang diajarkannya telah sampai kepada murid-muridnya dengan sangat baik. Dan bisa menjadi bahan evaluasi jikalau ada pemahaman yang belum maksimal yang akan diterangkan di kemudian hari. Itu model pembelajaran santri jaman now.
Tentu sangat kontras dengan suasana pembelajaran jaman dulu. Kyai atau ustadz hanya membacakan kitab dengan makna jawa yang dalam keseharian orang jawa pun bahasa seperti itu jarang digunakan. Kadang ada kyai atau ustadz yang mau menjelaskan, kadang membacakan lafadz arab dan arti jawa saja sudah cukup.
Santri bukannya dilarang bertanya. Hanya perasaan hormat yang terlalu tinggi membungkam mulutnya dan menundukkan pandangannya.
Tapi tak lantas sikap seperti itu menghambat pemahaman para santri. Karena santri jaman dulu juga banyak yang menghebat dengan sikap andap asornya (tunduk hormat).
Karena kyai jaman dulu keikhlasannya melebihi samudra. Walau tak ada tanya jawab apalagi debat di kelas diniyah, namun tiap hari sang kyai selalu mendoakan semua santrinya. Riyadloh yang tak pernah lelah.
Karena tugas guru hanya menyampaikan ilmu. Pemahaman santri diserahkan pada Sang Pemilik Asmaul husna. Kira-kira begitulah pedoman orang jaman dulu.
Dan adib remaja harus meninggalkan pondok setelah tahun 1994 untuk melanjutkan kuliahnya.
MASA KULIAH
Perguruan tinggi negeri selalu menjadi impian orang tua yang ingin mendaftarkan putra-putri yang dibanggakannya. Setelah di pilih dan dipilah, jatuhlah nama PGRI ……………… yang sekarang di kenal dengan UNESA Surabaya.
Entah kenapa adib memilih jurusan sastra jawa. Mungkin asal pilih saja karena waktu tiba waktu tes seleksi penerimaan mahasiswa baru, tak didapatinya kartu ujian masih utuh. Kartu itu sudah disobek-sobek hingga hanya tinggal nomor peserta saja yang masih bisa dibaca. Sungguh panic orang tuanya. Namun tidak dengan si pemilik kartu sobek. Biar saja kalau ditolak tak boleh ikut ujian, tak masalah baginya. Itulah kira-kira yang dipikirnya.
Namun panitia seleksi ternyata lebih memihak orang tuanya. Adib masih diperbolehkan mengikuti ujian seleksi. Dan masuklah dia sebagai mahasiswa sastra jawa di kampus itu.
Di Surabaya dia tinggal dengan pakde Ma’ruf, kakak dari Bu Ummaha, dan isterinya bude khoridah di Jl. Semarang Surabaya

still in process of editing....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar